Bermimpi dan Berjuang

RAGU, SI MUSUH TERBESAR

Januari 03, 2019



Salah seorang teman men-tagku pada salah satu postingan di instagram. “Keraguan adalah musuh terbesar dalam meraih mimpi”, seperti itulah kalimat yang tertera didalamnya. Tetiba waktu seolah terhenti dan pikirku kembali meresapi makna terdalam dari kalimat tersebut. Sederhana, singkat, tapi juga menusuk. Kukira itulah masalah terbesarku belakangan ini.

Tak jarang orang menjumpaiku seolah melihat wajahku dengan penuh ‘banyak masalah’. Katanya, sekuat apapun aku menyembunyikannya, tetap saja itu terpancar dari aura wajahku. Ah, mengesalkan. Walaupun demikian, benar, hariku cukup terasa berat hingga disaat musim ujian pun, para bayang hitam itu masih seringkali menghantui.

Hingga detik ini aku menyadari satu hal, persoalan terbesarku hanyalah atas ‘ragu’ yang selalu saja menyergap disekujur tubuhku. Lalu kucoba menelaah lebih dalam tentang sebab dari ragu yang selalu saja menghampiri itu, kuperoleh bahwa tuk memperoleh inginku tak semudah melepas yang kujalani. Kemudian, aku harus apa? Melanjutkan atau bahkan berhenti ditempat ini? Ah, kukira kau tahu siapa sosok aku.

Aku memang tak se-pandai orang yang orang lain anggap pandai. Aku hanya mempunyai diriku atas titipan-Nya, pun berbonuskan kemampuan ‘baca’. Darisana membuatku pernah membaca sebuah goresan pena dari salah seorang yang Allah pertemukan padaku. Pada goresannya beliau mengisyaratkan, “Sesuatu yang dicitakan harus diperjuangkan walaupun ia termasuk jenis takdir yang tidak bisa diubah di Lauhul Mafudz”. Seutas kalimat yang beliau torehkan dengan pena tersebut jelas mengingatkan kita pada kisah Nabi Nuh ‘alahissalam, bukan? Tentang sebuah perjuangan yang begitu gigih dalam tempo cukup lama, demi wujudkan citanya agar kaumnya bisa menerima ajakan beliau untuk menyembah hanya kepada Allah SWT.

Sekian lama menanti, Allah ternyata tidak semudah itu menakdirkan agar seluruh kaum Nabi Nuh ‘alaihissalam beriman. Ini jelas termaktub pada firman-Nya dalam QS. Al-‘Ankabut ayat 14. Hingga diakhir episode kisah yang beliau rangkai, aku menemukan sepucuk surat yang sebelumnya juga sulit kuterjemahkan dan berisi ‘ini hanya tentang batas bermimpi dan berjuang’.

Aku menemukan cinta pada mimpi yang seringkali kubagi dengan pencipta-Ku dipenghujung sujudku. Berharap bahwa atas segala mimpiku, setidaknya kudiskusikan dulu pada-Nya sebelum pada makhluk-Nya. Tapi, tentang melepas yang kujalani demi mengejar cinta atas mimpiku juga tidaklah mudah. Atas segala waktu yang telah dilalui bersama, apakah itu tak bermakna sekalipun? Atas segala kisah yang perlahan kita rangkai tiap harinya, apakah itu tak berarti? Aku berbohong jikalau aku berkata ‘iya’. Lalu, raguku hanya berdasarkan itu. Menemukan sosok seperti yang kutemui saat ini tak semudah saat aku mencoba mencari yang lain.

Ah tapi sudahlah, sejauh apapun aku mencoba berceloteh dihadapanmu, tetap saja bahwa ‘suara kehidupanku tak akan pernah menjangkau telinga kehidupanmu’.


Berbagi Bukan Karena Kita Kaya

Juli 18, 2018


Tepat setahun lalu selepas SBMPTN, kali itu aku memutuskan untuk kembali ke Makassar setelah menyelesaikan satu program di perantauan sana, walaupun programnya hanya 'bimbingan' sebulan saja. Sejujurnya aku cukup lupa bagaimana asal mula sehingga satu projek kecil berhasil kulakukan saat itu. Hasil dari ikhtiar tentunya, hehe. Projeknya cukup sederhana, alhamdulillah hatiku tenang mengetahui orang-orang yang berada disisiku cukup mendukung akan hal itu. Projek 'Peduli Saudara Muslim Rohingya' aku menyebutnya.

.

Berawal saat aku mengecek timeline Instagram yang mana merupakan satu dari beberapa hobiku. Hingga tiba satu iklan berhasil mencuri perhatianku lantas sesegera mungkin kucoba untuk membukanya. Berisi foto juga video yang 'sangat' mengharukan. Aku ingat dengan jelas bagaimana tindakan responku saat itu, unggahan tersebut berhasil membendung tangisku yang terpecah sekali pemutaran video saja. "Yaa Allah, sebab belajar demi UN dan SBM dulu, aku sampai lupa kalo ternyata di luar sana ada saudaraku yang masalahnya lebih 'rumit' dariku. Mana kehidupannya dipenuhi pertumpahan darah pula", ujar batinku nan disertai tangis penuh sesak sebab seingatku, belakangan itu aku sering mengeluh seolah bebanku sangat berat.

.

Tidak berlangsung lama, sometimes aku cukup sering mengambil keputusan tanpa mikir dibeberapa sisi dulu, seperti waktu itu aku ga terlalu mikir 'ada ga yah orang yang mau bantuin' atau 'kalo mau bantuin mereka lewat mana ya misal kalo uangnya udah terkumpul semua', sek yang penting sih jalan dulu bagiku. Sejak itu kucoba memberanikan diri untuk sedikit lebih terbuka kepada beberapa teman juga seniorku. Dibantu dengan rasa 'sakit hati' yang cukup perih, satu platform berhasil kujumpai dan sesegera mungkin melaksanakan projek tersebut. Tentunya melalui platform @kitabisa.com. Dengan bantuan berupa saran, kritik serta nasehat dari beberapa orang-orang hebat membuatku makin mantap untuk sesegera mungkin melaksanaan projek itu, ya dengan Penggalangan Dana berbentuk Online pastinya. Waktu itu targetku cukup banyak, Rp10.000.000 nominalnya. Walaupun itu sudah termasuk sedikit jika dibandingkan campaign yang dilakukan banyak orang maupun instansi di Kitabisa, ya gapapa lah, asal ada niat juga kemauan udah beres itu. Waktu itu aku emang ga pikir banyak, sek yang penting bantuanku ke saudaraku bisa sampai, bahagianya sudah melampaui batas itu.

.

Kurang lebih sebulan berjalan, disela-sela aku mempromosikan kegiatan 'kecilku' itu, disitu kugunakan untuk mencari jawaban dari para donatur mengenai 'Uangnya akan disalurkan kemana?". Alhamdulillah, Allah mengirimkan orang baik yang mana membantuku untuk menjawab serangan pertanyaan itu, "Kakak ada kenalan di ACT Sulsel, Pak Ali namanya. Kalau belum dapat tempat dimana dananya bisa disalurkan, Indah bisa kontak beliau dek. Nanti kakak coba kontak beliau dulu", Kak Fahrul. Darisana juga awal mula aku mengenal sosok lembaga seperti Aksi Cepat Tanggap. "Alhamdulillah, plong rasanya", batinku berucap kala itu.

.

Aku cukup lupa, dana yang terkumpul saat itu mencapai 6juta-an dari target 10juta. Agak sedih karena aku merasa 'gagal' mempromosikan, but in other side aku 'senengnya' ga ketulungan sebab banyak orang-orang baik yang bertebaran di muka bumi ini. Setelah campaign berakhir, aku pun menyalurkannya ke Kantor ACT Sulsel di Jalan Sultan Alauddin, Makassar. Dan sejak saat itu donasi yang beberapa kali kudapatkan bersama temanku juga ku kumpulkan ke Aksi Cepat Tanggap.

.

Benar, bahagia itu 'sederhana'. Jika seandainya orang lain 'bahagia' atas kabar 'kelulusan' mengampirinya kala itu, hatiku jauh lebih bahagia sebab keberadaanku bisa melukiskan senyum dibibir saudaraku. Taruh saja, 'lulus' tidak menjadi alasan 'senyum yang begitu sempurna' di bibirku. Berbeda dengan saat aku melihat orang-orang tersenyum padaku sebab merasa terbantukan oleh sosok hadirnya diriku. Wah, maa syaa Allah benar, kurasa itu penguatku hingga kini. Walau faktanya sisi 'introvert' masih saja menghantui, tetap saja kucoba berbaur dengan orang di luar sana. Mengapa? Sebab kudapatkan satu sumber alasan bahagiaku di sana.

.

Tiba-tiba aku juga teringat pesan Ibu, "Nak, kalau bisa rajin-rajin sedekah juga. Sedekah itu pahalanya besar, orang yang sering bersedekah juga biasanya panjang umur. Nah kita niatkan bersedekah dengan alasan agar bisa bernilai ibadah juga pahala dimata Allah". Nah atas dasar penguat itu pun aku berdiri. Yang sebelumnya aku berharap bersedekah atau dalam hal ini berbagi agar bisa 'lulus', ternyata menyalahi aturan Allah. Jauh daripada itu, bersedekah pun harus atas dasar Cinta, Ikhlas dan Sebuah Tulus. Sampai kata temanku bilang, "Indah, kita bersedekah bukan agar kita bisa lulus sebenarnya. Melainkan agar Allah ridho sama kita. Kita sebagai manusia sebenarnya hanya haus akan Cinta, Kasih Sayang dan Ampunan Allah sebenarnya, tidak lebih". Lah, hatiku remuk seketika itu. Lantas sambungnya, "Bersedekah juga, bukan karena kita 'kaya', melainkan karena kita tahu bagaimana rasanya 'tidak memiliki'". "Eh iya, astaghfirullah, kamu benar. Kita bersedekah pun bukan karena kita kaya, tapi karena Allah mencukupkan kita atas segala nikmat juga rezeki-Nya. Terimakasih sudah mengingatkan. Aku bangga", lanjutku pada temanku.

Sulawesi Selatan, Juli 19, 2018. 

Ibu Halimah dan Segala Sisi Positifnya

Juli 18, 2018


Berawal dari aku juga salah satu temanku ingin membelikan kue di salah satu toko tepat di depan Rumah Sakit Umum Pangkep teruntuk satu orang yang tengah berkurang usianya di hari kemarin, tetiba mataku tertuju oleh satu hal yang sangat menarik perhatianku. Berbekal dengan pengetahuan bahasa daerah yang cukup terbatas, kuberanikan diri tuk memulai percakapan dengan sosok ibu yang kukira beliau tengah berjuang hanya untuk mendapatkan sesuap nasi demi keluarganya. Bagiku, cara yang dilakukan beliau sebenarnya cukup tidak wajar. Sebab seyogyanya, lebih baik tangan di atas daripada tangan di bawah bukan?

Ibu Halimah, dengan usia yang beliau juga tidak ketahui berapa. Dikaruniai empat anak yang alhamdulillah sudah mencapai arti dari sebuah 'kesuksesan' di luar sana. Keempat anaknya dibesarkan dengan jiwa rantau, sebab itu anak beliau menyebar ke beberapa wilayah seperti Malaysia, dan lainnya (so sorry bcz i forgot the place). Beliau tinggal bersama kedua cucunya, anak dari anak Sang Ibu yang tengah tinggal di Malaysia, Halida (4tahun) dan Sarifuddin (3,5tahun) di kolong bawah rumah salah satu warga di Desa Bekkae. Dengan kondisi salah satu cucunya, Sarifuddin mengalami sedikit gangguan pada kemampuan berbicara. Untuk pemenuhan kebutuhan sehari-hari, beliau sudah tidak pernah lagi mendapatkan transferan dari anak-anaknya selama 7tahun terakhir. Sebab itu, beliau harus berjuang sendiri demi mempertahankan hidup dengan dua cucunya.

"Lokka manengni anakku, de'gaga isseng jalan pulang", kurang lebih itu yang beliau ucapkan sewaktu aku sempat berlari untuk mengejarnya. To be honest, aku rapuh seketika. "Anakku sudah pergi merantau semua, tapi tidak ada yang tahu jalan untuk pulang lagi. Sudah tidak ada yang mau pulang.", kira-kira begitu terjemahan dari bahasa yang beliau katakan tadi.

Semenit untuk kembali menetralkan perasaan sudah cukup bagiku. Ibu Halimah dengan mudahnya berhasil membuatku kembali tertusuk akan arti dari banyak hal yang seringkali kuabaikan. Yang benar saja, hatiku perih sebab teringat satu pesan dari Ibu sebulan lalu, "Nak, kalau misalnya nanti sudah sukses, tetap rendah hati. Jangan sampai lupa sama orangtua; ibu dengan papa. Sudah banyak kulihat anak-anak yang kalau mereka sudah sukses, sudah lupa sama orangtuanya bahkan tega jual rumah orangtuanya". Yaa Allah, teguran. Anak macam mana yang tega menjual rumah orangtuanya sendiri? Anak macam mana yang tega melupakan orangtuanya disaat ia sudah mengenal hidup yang lebih baik dari sebelumnya?

Melalui Ibu Halimah, pembelajaran kembali kudapatkan. Aku lebih baik gagal 1000kali daripada harus mendapati cover kebahagiaan, kesuksesan yang berbalutkan maksiat, membuatku lupa akan orangtua bahkan semakin menjauh dari Rabbku. Pernah terlintas dibenakku, bagaimana jika Allah memberikanku satu hal yang memang sangat kuinginkan lantas dengan hal itu aku semakin menjauh dari-Nya, apa sudah patutkah aku berbangga hati? Sebut saja, pikirku sembari mengingat kejadian beberapa hari silam, "Aku ga lulus. Allah itu ga adil banget ya. Orang yang ga belajar sama sekali malah pada lulus, nah gimana 'kami' yang notabenenya udah pada belajar 'mati-matian'". Lantas batinku kembali berucap, "Bodoh kamu, Ndah. Alhamdulillah kalau kamu ga lulus. Mengapa? Ya Allah sayang sama kamu. Buktinya apa? Buktinya sebab kamu dijauhkan/dihindarkan oleh satu hal yang udah kamu anggap 'baik buat kamu' lantas sebenarnya 'ga baik buat kamu'. Kamu itu bukannya beruntung malah menyalahkan keadaan. Allah itu adil. Gimana kalo ternyata kamu lulus lantas lupa orangtua? Makin jauh sama Allah, gimanaaaa?". Astaghfirullah, ucapku sembari mengelus dada. Syukurku, satu langkah yang 'hampir' membuatku berbelok arah langsung Allah kembali memberikan teguran agar kembali ke arah yang lurus.

Lanjut, dapatkah kita sebagai 'anak' lebih 'peka' dengan hal-hal yang berada disekitar kita? Kukira pelajaran terbaik didapatkan dari hal-hal saat kita belajar melihat dari bawah. Lambat laun kita mendapati bahwa hidup itu sebenarnya tidak semanis dengan apa yang seringkali kita lihat dengan mata kepala kita. Melainkan arti dari hidup sebenarnya itu berada jauh dibalik kemanisan, juga kebahagiaan yang terpancarkan dari pesona wajah-wajah manusia yang kerap kali kita anggap menyenangkan dan itulah the real life.

Darisana aku juga belajar, terlebih kepada sosok manusia yang tengah dalam amanah 'rantau'. Kodratinya, rantau tidak mengajarkan kita agar melupakan satu hal besar di luar sana, orangtua, yang mana adalah satu kesatuan besar dengan keluarga. Jikalau rantau malah membuat kita semakin menjauh, sebenarnya perlu kembali dilakukan evaluasi. Kehidupan apapun yang akan diperoleh setelah rantau, baik itu lebih berada ataupun menjadi yang tidak ada apa-apanya tetaplah ingat bahwa sebaik-baik tempat kita tuk pulang ialah ke pelukan keluarga; orangtua. Sebab dengan seperti itu, surga pun akan lebih mendekat selangkah kepada kita.

Tapi jauh daripada itu, aku masih tetep mikir. Bagaiman bisa seorang anak justru tidak pernah lagi mengingat Ibunya? Bahkan dihari saat para anak tengah melangsungkan sunnah Rasulullah yakni menyempurnakan agama dengan menikah tapi tidak juga menghubungi atau bahkan memberitahu kepada Ibunya terlebih dahulu. Apa sudah matikah hati kecil kita setelah mendapatkan satu arti dari kebahagiaan yang tidak abadi tersebut? Darisana aku memilih; lebih baik mempertahankan hidup dalam keadaan sederhana daripada harus terbalutkan bahagia yang justru menyesakkan jiwa juga membunuh batin.


Sulawesi Selatan, Juli 11, 2018.