Salah seorang teman men-tagku pada salah
satu postingan di instagram. “Keraguan adalah musuh terbesar dalam meraih mimpi”,
seperti itulah kalimat yang tertera didalamnya. Tetiba waktu seolah terhenti
dan pikirku kembali meresapi makna terdalam dari kalimat tersebut. Sederhana,
singkat, tapi juga menusuk. Kukira itulah masalah terbesarku belakangan ini.
Tak jarang orang menjumpaiku seolah melihat wajahku dengan penuh ‘banyak masalah’. Katanya, sekuat apapun aku menyembunyikannya, tetap saja itu terpancar dari aura wajahku. Ah, mengesalkan. Walaupun demikian, benar, hariku cukup terasa berat hingga disaat musim ujian pun, para bayang hitam itu masih seringkali menghantui.
Tak jarang orang menjumpaiku seolah melihat wajahku dengan penuh ‘banyak masalah’. Katanya, sekuat apapun aku menyembunyikannya, tetap saja itu terpancar dari aura wajahku. Ah, mengesalkan. Walaupun demikian, benar, hariku cukup terasa berat hingga disaat musim ujian pun, para bayang hitam itu masih seringkali menghantui.
Hingga detik ini aku menyadari satu hal,
persoalan terbesarku hanyalah atas ‘ragu’ yang selalu saja menyergap disekujur
tubuhku. Lalu kucoba menelaah lebih dalam tentang sebab dari ragu yang selalu
saja menghampiri itu, kuperoleh bahwa tuk
memperoleh inginku tak semudah melepas yang kujalani. Kemudian, aku harus
apa? Melanjutkan atau bahkan berhenti ditempat ini? Ah, kukira kau tahu siapa
sosok aku.
Aku memang tak se-pandai orang yang
orang lain anggap pandai. Aku hanya mempunyai diriku atas titipan-Nya, pun
berbonuskan kemampuan ‘baca’. Darisana membuatku pernah membaca sebuah goresan
pena dari salah seorang yang Allah pertemukan padaku. Pada goresannya beliau
mengisyaratkan, “Sesuatu yang dicitakan harus diperjuangkan walaupun ia
termasuk jenis takdir yang tidak bisa diubah di Lauhul Mafudz”. Seutas kalimat
yang beliau torehkan dengan pena tersebut jelas mengingatkan kita pada kisah
Nabi Nuh ‘alahissalam, bukan? Tentang sebuah perjuangan yang begitu gigih dalam
tempo cukup lama, demi wujudkan citanya agar kaumnya bisa menerima ajakan
beliau untuk menyembah hanya kepada Allah SWT.
Sekian lama menanti, Allah ternyata
tidak semudah itu menakdirkan agar seluruh kaum Nabi Nuh ‘alaihissalam beriman.
Ini jelas termaktub pada firman-Nya dalam QS. Al-‘Ankabut ayat 14. Hingga
diakhir episode kisah yang beliau rangkai, aku menemukan sepucuk surat yang
sebelumnya juga sulit kuterjemahkan dan berisi ‘ini hanya tentang batas bermimpi dan berjuang’.
Aku menemukan cinta pada mimpi yang
seringkali kubagi dengan pencipta-Ku dipenghujung sujudku. Berharap bahwa atas
segala mimpiku, setidaknya kudiskusikan dulu pada-Nya sebelum pada makhluk-Nya.
Tapi, tentang melepas yang kujalani demi mengejar cinta atas mimpiku juga tidaklah
mudah. Atas segala waktu yang telah dilalui bersama, apakah itu tak bermakna
sekalipun? Atas segala kisah yang perlahan kita rangkai tiap harinya, apakah
itu tak berarti? Aku berbohong jikalau aku berkata ‘iya’. Lalu, raguku hanya berdasarkan itu. Menemukan sosok seperti
yang kutemui saat ini tak semudah saat aku mencoba mencari yang lain.
Ah tapi sudahlah, sejauh apapun aku
mencoba berceloteh dihadapanmu, tetap saja bahwa ‘suara kehidupanku tak akan pernah menjangkau telinga kehidupanmu’.