Ibu Halimah dan Segala Sisi Positifnya

Juli 18, 2018


Berawal dari aku juga salah satu temanku ingin membelikan kue di salah satu toko tepat di depan Rumah Sakit Umum Pangkep teruntuk satu orang yang tengah berkurang usianya di hari kemarin, tetiba mataku tertuju oleh satu hal yang sangat menarik perhatianku. Berbekal dengan pengetahuan bahasa daerah yang cukup terbatas, kuberanikan diri tuk memulai percakapan dengan sosok ibu yang kukira beliau tengah berjuang hanya untuk mendapatkan sesuap nasi demi keluarganya. Bagiku, cara yang dilakukan beliau sebenarnya cukup tidak wajar. Sebab seyogyanya, lebih baik tangan di atas daripada tangan di bawah bukan?

Ibu Halimah, dengan usia yang beliau juga tidak ketahui berapa. Dikaruniai empat anak yang alhamdulillah sudah mencapai arti dari sebuah 'kesuksesan' di luar sana. Keempat anaknya dibesarkan dengan jiwa rantau, sebab itu anak beliau menyebar ke beberapa wilayah seperti Malaysia, dan lainnya (so sorry bcz i forgot the place). Beliau tinggal bersama kedua cucunya, anak dari anak Sang Ibu yang tengah tinggal di Malaysia, Halida (4tahun) dan Sarifuddin (3,5tahun) di kolong bawah rumah salah satu warga di Desa Bekkae. Dengan kondisi salah satu cucunya, Sarifuddin mengalami sedikit gangguan pada kemampuan berbicara. Untuk pemenuhan kebutuhan sehari-hari, beliau sudah tidak pernah lagi mendapatkan transferan dari anak-anaknya selama 7tahun terakhir. Sebab itu, beliau harus berjuang sendiri demi mempertahankan hidup dengan dua cucunya.

"Lokka manengni anakku, de'gaga isseng jalan pulang", kurang lebih itu yang beliau ucapkan sewaktu aku sempat berlari untuk mengejarnya. To be honest, aku rapuh seketika. "Anakku sudah pergi merantau semua, tapi tidak ada yang tahu jalan untuk pulang lagi. Sudah tidak ada yang mau pulang.", kira-kira begitu terjemahan dari bahasa yang beliau katakan tadi.

Semenit untuk kembali menetralkan perasaan sudah cukup bagiku. Ibu Halimah dengan mudahnya berhasil membuatku kembali tertusuk akan arti dari banyak hal yang seringkali kuabaikan. Yang benar saja, hatiku perih sebab teringat satu pesan dari Ibu sebulan lalu, "Nak, kalau misalnya nanti sudah sukses, tetap rendah hati. Jangan sampai lupa sama orangtua; ibu dengan papa. Sudah banyak kulihat anak-anak yang kalau mereka sudah sukses, sudah lupa sama orangtuanya bahkan tega jual rumah orangtuanya". Yaa Allah, teguran. Anak macam mana yang tega menjual rumah orangtuanya sendiri? Anak macam mana yang tega melupakan orangtuanya disaat ia sudah mengenal hidup yang lebih baik dari sebelumnya?

Melalui Ibu Halimah, pembelajaran kembali kudapatkan. Aku lebih baik gagal 1000kali daripada harus mendapati cover kebahagiaan, kesuksesan yang berbalutkan maksiat, membuatku lupa akan orangtua bahkan semakin menjauh dari Rabbku. Pernah terlintas dibenakku, bagaimana jika Allah memberikanku satu hal yang memang sangat kuinginkan lantas dengan hal itu aku semakin menjauh dari-Nya, apa sudah patutkah aku berbangga hati? Sebut saja, pikirku sembari mengingat kejadian beberapa hari silam, "Aku ga lulus. Allah itu ga adil banget ya. Orang yang ga belajar sama sekali malah pada lulus, nah gimana 'kami' yang notabenenya udah pada belajar 'mati-matian'". Lantas batinku kembali berucap, "Bodoh kamu, Ndah. Alhamdulillah kalau kamu ga lulus. Mengapa? Ya Allah sayang sama kamu. Buktinya apa? Buktinya sebab kamu dijauhkan/dihindarkan oleh satu hal yang udah kamu anggap 'baik buat kamu' lantas sebenarnya 'ga baik buat kamu'. Kamu itu bukannya beruntung malah menyalahkan keadaan. Allah itu adil. Gimana kalo ternyata kamu lulus lantas lupa orangtua? Makin jauh sama Allah, gimanaaaa?". Astaghfirullah, ucapku sembari mengelus dada. Syukurku, satu langkah yang 'hampir' membuatku berbelok arah langsung Allah kembali memberikan teguran agar kembali ke arah yang lurus.

Lanjut, dapatkah kita sebagai 'anak' lebih 'peka' dengan hal-hal yang berada disekitar kita? Kukira pelajaran terbaik didapatkan dari hal-hal saat kita belajar melihat dari bawah. Lambat laun kita mendapati bahwa hidup itu sebenarnya tidak semanis dengan apa yang seringkali kita lihat dengan mata kepala kita. Melainkan arti dari hidup sebenarnya itu berada jauh dibalik kemanisan, juga kebahagiaan yang terpancarkan dari pesona wajah-wajah manusia yang kerap kali kita anggap menyenangkan dan itulah the real life.

Darisana aku juga belajar, terlebih kepada sosok manusia yang tengah dalam amanah 'rantau'. Kodratinya, rantau tidak mengajarkan kita agar melupakan satu hal besar di luar sana, orangtua, yang mana adalah satu kesatuan besar dengan keluarga. Jikalau rantau malah membuat kita semakin menjauh, sebenarnya perlu kembali dilakukan evaluasi. Kehidupan apapun yang akan diperoleh setelah rantau, baik itu lebih berada ataupun menjadi yang tidak ada apa-apanya tetaplah ingat bahwa sebaik-baik tempat kita tuk pulang ialah ke pelukan keluarga; orangtua. Sebab dengan seperti itu, surga pun akan lebih mendekat selangkah kepada kita.

Tapi jauh daripada itu, aku masih tetep mikir. Bagaiman bisa seorang anak justru tidak pernah lagi mengingat Ibunya? Bahkan dihari saat para anak tengah melangsungkan sunnah Rasulullah yakni menyempurnakan agama dengan menikah tapi tidak juga menghubungi atau bahkan memberitahu kepada Ibunya terlebih dahulu. Apa sudah matikah hati kecil kita setelah mendapatkan satu arti dari kebahagiaan yang tidak abadi tersebut? Darisana aku memilih; lebih baik mempertahankan hidup dalam keadaan sederhana daripada harus terbalutkan bahagia yang justru menyesakkan jiwa juga membunuh batin.


Sulawesi Selatan, Juli 11, 2018.

You Might Also Like

0 komentar